Beranda > Refleksi > Refleksi: Demi Malam

Refleksi: Demi Malam

Oleh: Husnul Muttaqin

Tulisan ini ingin mengkaji beberapa persoalan sosial dilihat dari bagaimana orang mempersepsikan atau mengkonseptualisasikan malam. Mungkin terkesan mengada-ada, tapi saya akan menunjukkan bahwa konsepsi tentang malam memiliki keterkaitan dengan persoalan perilaku seks bebas dan kepercayaan mistis yang berkembang dalam masyarakat. Tulisan ini akan diakhiri dengan bagaimana Islam mengkonsepsikan malam.

Mungkin karena situasi gelap yang selalu menandai datangnya, maka malam sering dianggap menyimpan segudang misteri. Misteri adalah sesuatu yang tak terungkapkan atau sulit diungkap. Malam dianggap misteri karena segala sesuatu tiba-tiba saja diselimuti kegelapan, sehingga kita tidak dapat melihat dengan jelas apa yang ada di dalamnya. Tapi agaknya, malam memang menyimpan sebuah makna penting. Karenanya, bahkan Tuhanpun merasa perlu bersumpah atas nama malam. “Demi malam apabila telah berlalu”, kata Tuhan.

Di manapun, misteri selalu menggoda untuk diungkap. Justru misteri ada untuk diungkap rahasianya. Sisi menarik dari misteri adalah kemungkinan mengungkapkannya. Maka muncullah beberapa konsep sebagai upaya manusia memahami malam. Tapi karena malam sendiri adalah gelap yang menandakan ketidakjelasan,maka konsep-konsep itu lebih berfungsi sebagai mitos daripada penggambaran yang sebenarnya tentang malam. Mitos-mitos itu tumbuh subur di tengah masyarakat dan mempengaruhi, tidak hanya keyakinan tapi juga perilaku keseharian.

Malam sering diidentikkan dengan hal yang menyeramkan. Ini mitos pertama dan tertua. Malam dianggap sebagai satu waktu di mana hantu-hantu, setan, jin, roh dan segala makhluk halus lainnya bergentayangan. Karenanya, cerita-cerita tentang hantu selalu bersetting malam hari, termasuk film-film horor. Tidak ada hantu berkeliaran pada siang hari. Kalau toh ada, itu pasti hantu kesiangan. Ada di film-film komedi, bukan horor. Satu jenis burung yang hanya keluar pada malam hari pun kemudian dinamai burung hantu. Ini jelas mitos, karena jin ada baik siang ataupun malam. Setan pun tidak pernah berhenti menggoda manusia, tidak peduli waktu.

Di dalam masyarakat modern yang semakin rasional, mitos ini perlahan-lahan mulai terkikis. Tentu tidak hilang, tapi ada perubahan. Penerangan lampu listrik membantu proses ini. Malam tidak selalu menyeramkan. Maka di kota-kota besar, mall-mall justru dipenuhi pengunjung pada malam hari, dari yang benar-benar belanja sampai yang sekedar ngécéng. Akan tetapi, dalam setiap perubahan selalu ada kekuatan konservatif yang ingin kembali ke belakang, mengulang sejarah. Akhir-akhir ini kita melihat gejala yang tidak sehat ini. Televisi-televisi kita berusaha melestarikan mitos ini. Tayangan-tayangan di televisi banyak bertemakan mistik. Dalam sinetron, ada Misteri Gunung Merapi, Dendam Nyi Pelet, Angling Dharma dan lain-lain. Yang lagi marak-maraknya, tayangan-tayangan tentang dunia ghaib, seperti Dunia Lain, Percaya Nggak Percaya, dan lain-lain. Acara-acara seperti ini ratingnya sangat tinggi. Hampir semua statiun televisi mempunyai acara serupa. Tayangannya berkisar tentang dunia gaib, entah itu jin, hantu, pocong atau hal-hal mistis lain yang semuanya bersetting malam hari. Mitos malam hendak dilestarikan.

Dalam tayangan seperti ini, agama kerap diikutsertakan, tentu saja agama yang sudah dibungkus dengan baju mistis. Tanpa disadari pemaknaa agama secara mistis ini membawa konsekwensi lanjutan yang tidak ringan. Agama seolah-olah hanya berhubungan dengan yang gaib-gaib. Agama lalu terpisah dengan realitas. Lama-lama, dalam masyarakat kita, akan tertanam satu persepsi bahwa agama hanya mampu menyelesaikan persoalan gaib, mistik, dunia lain, dan tidak relevan dengan keyataan hidup sehari-hari. Kalau ada masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, orang akan berpaling pada konsep-konsep sekular, karena menganggap bahwa agama tidak punya solusi. Hampir tidak ada film atau sinetron yang mengisahkan bagaimana agama mampu berperan dalam kehidupan ekonomi, sosial atau politik. Agama benar-benar dijauhkan dari realitas.

Mitos kedua berhubungan dengan perilaku seks bebas yang semakin lama semakin susah dikendalikan. Mitos itu penjelasannya begini. Malam itu diselimuti oleh gelap. Banyak hal tidak terlihat di malam hari. Karena itu orang merasa aman ketika bersembunyi atau menyembunyikan sesuatu yang tidak ingin diketahui orang lain di malam hari. Salah satu yang paling penting adalah perilaku seksnya. Orang akan merasa aman bila melakukan hubungan seksual di malam hari karena tertutup oleh gelap, seolah tidak ada yang melihat. Anda mungkin berpikir bahwa saya mengada-ada dengan mengemukakan mitos ini, tapi saya punya bukti bahwa mitos ini tanpa disadari hidup dalam benak masyarakat. Kalau kita mendengar istilah “kehidupan malam” maka dalam benak kita akan tergambar tempat-tempat atau aktifitas-aktifitas yang berbau seks. “Wanita malam” atau “kupu-kupu malam” adalah istilah lain dari pelacur. “ Night Society” menunjuk pada satu komunitas atau kelompok sosial yang akrab dengan kehidupan seks bebas. Ada banyak istilah lain, seperti “ club malam”, “diskotek malam”, atau juga “malam pengantin”. Saya belum pernah mendengar istilah “siang pengantin”. Apakah anda pernah?.

Mitos ini jelas sekali bersifat merusak. Kalau yang percaya mitos ini adalah sepasang pengantin tentu tidak masalah, tapi sayangnya, justru para penganut seks bebas yang banyak menggunakan mitos ini. Malam bagi mereka adalah waktu untuk berpesta. Justru di malam harilah suasana di tempat-tempat hiburan malam menjadi hidup, hingar bingar oleh dentuman suara musik, canda, tawa ria dan binal, campur aduk menjadi satu. Dan saat matahari bersinar, pesta telah usai, hasrat seksual telah terlampiaskan. Janji setia dalam hati diikrarkan, “nanti malam pesta akan kembali digelar”. Inilah sebuah dunia yang begitu pengap oleh udara berbau seks.

Apakah di antara pembaca ada yang berharap mitos ini hilang?. Mulanya saya juga berharap demikian, tapi saya jadi miris ketika melihat realitas yang sedang terjadi. Dalam masyarakat kita, tampaknya memang telah terjadi pergeseran walaupun mitos belum hilang. Tapi pergeseran ini justru membuat persoalan menjadi semakin runyam. Bayangkan saja, aktifitas seks bebas kini tidak mengenal waktu. Tak peduli siang atau malam, aktifitas seks bebas tidak pernah diistirahatkan. Seks mulai terang-terangan, tidak lagi malu-malu, sembunyi-sembunyi, tapi semakin vulgar, tanpa basa-basi, tanpa permisi. 24 jam kita disuguhi godaan-godaan seksual. Tempat-tempat yang menjajakan layanan seks laris manis di siang hari. Di tempat-tempat wisata, prostitusi, atau di kos-kosan mahasiswa terjadi persetubuhan liar. Bahkan di salah satu Perguruan Tinggi di Yogyakarta, pada hari minggu pagi, pernah ada acara spesial, bagi-bagi kondom oleh salah satu LSM. Mungkin suatu saat, seks akan dilakukan di jalan raya, di trotoar atau bahkan di atas sajadah. Apakah anda masih ingin hidup di dunia saat itu terjadi?.

Tapi baiklah untuk meredakan kegusaran pembaca dengah mitos-mitos itu, saya akan mulai bicara tentang bagaimana konsepsi Islam tentang malam sehingga kita terbebas dari mitos-mitos yang menyesatkan itu. Mudah-mudahan di antara pembaca tidak ada yang menaruh curiga, jangan-jangan Islam pun hendak menciptakan mitos baru tentang malam. Misalnya ada, pembaca perlu tahu bahwa mitos yang satu ini tidak destruktif bahkan bermanfaat, dan satu lagi, sesuai dengan kenyataan. Tapi kalau mitos sesuai dengan kenyataan, namanya bukan mitos lagi kan?. Itu relitas!.

Allah melihat malam itu sangat penting, bahkan Dia beberapa kali bersumpah atas nama malam ( wallaili idzaa sajaa, wallaili idzaa yaghsyaa / yaghsyaahaa ). Allah juga menganjurkan kita untuk menghidupkan malam. Dua peristiwa penting dalam sejarah Islam terjadi di malam hari: isra’ mi’raj dan nuzulul Qur’an ( lailatul qadr ).

Saya akan berangkat dari salah satu ayat al-Qur’an, surat 10: 67. Dialah yang menjadikan malam tempat beristirahat bagimu dan siang itu terang benderang tempat berusaha). Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang yang mau mendengar ayat-ayatnya. Ayat ini sepintas lalu kelihatan sederhana, tapi seperti ditunjukkan di akhir ayat, ada rahasia (tanda) penting yang ingin ditunjukkan oleh Allah.

Siang itu terang benderang, waktu beraktifitas, berusaha. Segala aktifitas tumpek blek di sana. Kita disibukkan dengan urusan dunia. Cobalah kita menengok aktifitas di kota besar seperti Jakarta. Semua orang keluar dengan urusannya masing-masing yang kemudian tanpa dikomando, berkumpul di jalan raya, memenuhi tiap ruasnya. Suara bising mesin mareung-raung, klakson berbunyi memekakkan telinga, bersatu dengan polusi yeng semakin menyesakkan dada, ditambah dengan bonus yang tidak pernah terlewatkan: macet, bahkan di jalam tol sekalipun. Saat seperti inilah pikiran kita dipenuhi berbagai masalah plus kebisingan dan kesemrawutan kota. Kita tidak dapat berpikir secara jernih. Tuhan lalu memutar roda waktu. Datanglah malam. Malam adalah saat kita mengistirahatkan diri dari semua itu ( liyaskunuu fiih ), melepas sejenak masalah-masalah duniawi sehingga kita dapat berpikir secara jernih, melihat persoalan-persoalan secara lebih bening, bersatu dengan keheningan malam. Di malam hari, tersibaklah tirai-tirai yang menutupi hati dan pikiran kita sehingga dapat mengantarkan pada kebenaran yang sejati. Kata Tuhan dalam rangkaian ayat-ayat tahajjud, “ Datanglah kebenaran dan enyahlah kebatilan ” (S. 17:81).

Proses mencapai kesejatian itu begini. Pada siang hari kondisinya terang benderang, sehingga kita dapa melihat dengan mata kepala. Pada malam hari, keadaannya lain, gelap, sinar matahari tertutup oleh bayangan bumi, sehingga mata kepala kita tidak bisa berfungsi secara optimal. Itulah saatnya kita tidak lagi menggunakan mata kepala, tapi mata hati. Menghidupkan malam artinya melatih diri untuk melihat diri, alam dan Tuhan dengan mata hati. Mata hati untuk melihat tidak memerlukan cahaya dhahir karena hati tidak terikat dengan materi. Maka gelap bukan sebab mata hati tidak bisa melihat. Untuk melihat mata hati hanya memerlukan cahaya ruhani.

Jika di siang hari, mata kepala sering menipu, memandang keindahan dan kenikmatan dunia sebagai kesejatian, maka di malam hari, mata kepala yang menipu tidak dapat berfungsi dengan baik. Di malam hari yang kita pakai adalah mata hati untuk melihat kesejatian, bukan kepalsuan yang menipu. Mata hati melihat sisi lain dari dunia, sisi yang tidak bisa dilihat oleh mata kepala. Jika di siang hari, yang menerangi perjalanan kita adalah cahaya matahari, maka di malam hari yang menerangi hidup kita adalah cahaya yang kita nyalakan dalam hati kita. Saya teringat dengan syair seorang pengamen yang menemani perjalanan mudik saya pada suatu kesempatan. Syair itu begini: “ Kenapa takut pada malam hari. Nyalakan pelita di dalam hatimu”.

Jadi, alih-alih memitoskannya sebagai horor, mistis atau juga sebagai waktu tempat aktifitas seksual dijalankan, malam justru saat-saat indah dimana seorang hamba bisa berasyik-ma’syuk dengan Tuhannya dalam derai tangis kesadaran, dalam senyum kesukuran, dalam zikir-zikir yang menghunjam ke dalam sanubari. Jika kita mampu menanamkan konsep spiritual tentang malam ini dalam masyarakat kita, maka suatu saat ketika kita menyebut tentang kehidupan malam, yang terlintas dalam benak kita adalah sajadah yang basah oleh air mata, alunan suara zikir yang terdengar lebih indah dari musik apapun,atau lantunan indah ayat-ayat Tuhan, bukannya diskotek, club malam, hotel berbintang, dentum keras musik yang memekakkan telinga, atau suara manja dan menggoda para penjaja cinta. Apakah pembaca setuju?.

Kategori:Refleksi
  1. malcolm
    Februari 15, 2008 pukul 2:51 pm

    Refleksi yang mencerahkan. Mana donk refleksi berikutnya?

  2. ali hamdi
    Januari 2, 2010 pukul 9:35 pm

    bagus kin refleksinya.. kita tunggu refleksinya yang lain

  3. asnaro
    Juni 16, 2010 pukul 5:12 pm

    refleksinya indah ust..

  1. No trackbacks yet.

Tinggalkan komentar